Pada kesempatan ini, penulis akan mengungkap sisi lain dari Hajjaj bin Yusuf, menampilkan gambaran yang lebih lengkap tentang dirinya -baik dan buruknya- agar kita dapat memahami sosoknya secara lebih seimbang.
Kelahiran dan Masa Kecil Hajjaj bin Yusuf
Hajjaj bin Yusuf dilahirkan di Thaif pada tahun 41 Hijriyah (661 Masehi). Ia berasal dari keluarga terhormat dari kalangan Bani Tsaqif. Ayahnya, Yusuf, dikenal sebagai seorang yang taat beragama dan berilmu. Yusuf menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengajarkan Alquran kepada anak-anak di kampungnya, termasuk Hajjaj.
Dengan didikan sang ayah, Hajjaj berhasil menghafal Alquran secara sempurna di usia muda. Ia kemudian memperdalam pengetahuannya dengan bergabung dalam majelis-majelis para sahabat dan tabi’in, seperti Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, dan Sa’id bin al-Musayyib. Kemampuan hafalannya yang luar biasa membuatnya dipercaya untuk mengajar anak-anak lainnya.
Masa kecil Hajjaj di Thaif juga membentuk kefasihannya dalam berbahasa. Ia bergaul dengan Kabilah Hudzail, yang dikenal sebagai salah satu kabilah Arab paling fasih. Hal ini membuat Hajjaj tumbuh menjadi seorang orator ulung dengan kemampuan public speaking yang memukau. Abu Amr bin Ala’ bahkan menyatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih seperti Hasan al-Bashri, kemudian Hajjaj.”
Hubungan Hajjaj dengan Abdullah bin Zubair
Salah satu babak penting dalam karier Hajjaj adalah konfliknya dengan Abdullah bin Zubair. Setelah wafatnya Yazid bin Muawiyah pada tahun 64 Hijriyah (683 Masehi), Abdullah bin Zubair memproklamirkan diri sebagai khalifah di Mekah. Ia adalah sosok yang disegani karena latar belakangnya sebagai cucu Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis.
Pada masa itu, kekhilafahan Bani Umayyah sedang mengalami krisis legitimasi. Hanya Yordania yang memberikan loyalitas penuh kepada mereka. Marwan bin Hakam, pengganti Yazid, hanya mampu mengamankan Mesir dari pengaruh Abdullah bin Zubair. Situasi ini berubah ketika Abdul Malik bin Marwan naik tahta. Ia memilih Hajjaj bin Yusuf untuk menghadapi Abdullah bin Zubair.
Hajjaj dikenal sebagai sosok yang keras, pantang menyerah, dan memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Ia berhasil mengepung Mekah, benteng terakhir Abdullah bin Zubair. Dalam pengepungan itu, Hajjaj menggunakan manjaniq (ketapel raksasa) untuk menghujani kota suci tersebut dengan batu. Bahkan, sebagian Ka’bah roboh akibat serangan ini. Akhirnya, Abdullah bin Zubair tewas, dan kekuasaan Bani Umayyah kembali tegak.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya, Hajjaj diangkat sebagai gubernur Hijaz. Ia kemudian memperluas kekuasaannya ke Yaman dan Yamamah. Hajjaj menjadi sosok yang ditakuti karena kebijakannya yang keras dan tegas.
Hajjaj bin Yusuf Menjadi Gubernur Irak
Setelah Basyar bin Marwan, saudara Khalifah Abdul Malik, wafat, Hajjaj ditunjuk sebagai gubernur Irak pada tahun 75 Hijriyah (694 Masehi). Irak saat itu sedang dilanda gejolak dan kekacauan akibat pemberontakan orang-orang Khawarij. Hajjaj dianggap sebagai sosok yang tepat untuk mengembalikan stabilitas di wilayah tersebut.
Sesampainya di Kufah, Hajjaj langsung berkhutbah dengan gaya yang keras dan penuh ancaman. Ia memperingatkan penduduk Kufah untuk tidak merusak stabilitas dan mengancam akan menghukum siapa pun yang menentang pemerintah. Khutbahnya yang seperti badai ini berhasil membuat rakyat Kufah tunduk dan bersegera memenuhi perintah berjihad melawan Khawarij.
Hajjaj kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bashrah. Di sana, ia kembali menunjukkan sikap tegasnya. Ia mengancam para pemberontak dan menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi mereka yang melawan pemerintah. Dengan cara ini, Hajjaj berhasil meredam berbagai pergolakan di Irak, termasuk pemberontakan Abdurrahman bin al-Asy’ats.
Jasa-jasa Hajjaj bin Yusuf
Meskipun dikenal sebagai sosok yang kejam, Hajjaj juga memiliki kontribusi besar dalam pembangunan dan penyebaran Islam. Setelah berhasil menstabilkan Irak, ia memulai berbagai proyek pembangunan, seperti pembangunan kantor-kantor pemerintahan, fasilitas umum, dan infrastruktur kesehatan. Ia juga membangun jembatan di atas sungai-sungai Irak dan membuat bendungan untuk menampung air hujan.
Hajjaj dikenal sebagai pemimpin yang detail dan selektif dalam memilih pegawai pemerintahan. Ia hanya menunjuk orang-orang yang benar-benar capable di bidangnya. Selain itu, ia juga berhasil menaklukkan banyak wilayah, seperti Balkh, Bukhara, dan Khawarizm. Penaklukkan ini membuka jalan bagi penyebaran Islam ke daerah-daerah tersebut.
Salah satu jasa terbesar Hajjaj adalah kontribusinya dalam penjagaan Alquran. Ia memerintahkan pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Alquran untuk memudahkan pembacaan dan menghindari kesalahan interpretasi. Langkah ini sangat penting dalam menjaga keaslian dan kemurnian Alquran.
Penutup: Dua Sisi Hajjaj bin Yusuf
Hajjaj bin Yusuf adalah sosok yang kompleks. Di satu sisi, ia dikenal sebagai pemimpin yang kejam dan otoriter. Namun, di sisi lain, ia juga memiliki kontribusi besar dalam pembangunan dan penyebaran Islam. Para sejarawan seperti Ibnu Katsir mencoba memposisikan diri secara netral dengan mengakui kelebihan dan kekurangan Hajjaj.
Hajjaj wafat pada 21 Ramadhan 95 Hijriyah (9 Juni 714 Masehi) di Kota Wasith. Meskipun ia meninggalkan warisan yang kontroversial, tidak dapat dipungkiri bahwa Hajjaj adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Dengan memahami kedua sisi ini, kita dapat melihat Hajjaj bin Yusuf secara lebih utuh dan objektif.
Tags:
Biografi