Manakah yang Lebih Utama bagi Orang yang Bepergian, Berpuasa atau Tidak Berpuasa?

Manakah yang Lebih Utama bagi Orang yang Bepergian, Berpuasa atau Tidak Berpuasa?

Fikroh.com - Allah menetapkan kewajiban berpuasa kepada orang yang mukim dan dalam keadaan sehat serta memberi keringanan kepada orang sakit dan orang yang bepergian untuk tidak berpuasa. Di samping itu, Allah mewajibkan fidyah bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa lagi.

Sakit yang dapat menjadikan seseorang boleh tidak berpuasa adalah sakit berat yang seandainya dia tetap berpuasa niscaya sakitnya akan bertambah parah, atau dikhawatirkan akan mengakibatkan kesembuhannya semakin lama.
 
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “Diceritakan bahwa sejumlah ulama salaf membolehkan untuk tidak berpuasa disebabkan penyakit ringan sekalipun, seperti sakit pada jari atau gusi. Hal ini berdasarkan keumuman makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Lebih dari itu, orang yang bepergian dibolehkan tidak berpuasa meskipun dia tidak harus melakukannya. Demikian pula orang yang sakit.” Pendapat ini dikemukakan oleh Bukhari, Atha dan mazhab Zhahiri.

Orang sehat yang khawatir terkena sakit jika berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa sebagaimana orang sakit. Demikian juga orang yang sangat lapar atau sangat haus hingga dapat menyebabkan pada kematian. Dalam kondisi seperti ini, dia dibolehkan tidak berpuasa, tapi harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, meskipun orang itu sehat dan tidak bepergian. Allah swt. berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa': 29)

Seandainya orang yang sakit tetap berpuasa dan bersedia menanggung penderitaan, maka puasa yang dilakukannya tetap dianggap sah, namun tindakannya itu makruh. Sebab, dia tidak ingin menerima keringanan yang diberikan Allah, dan boleh jadi tindakannya itu akan mendatangkan bahaya bagi dirinya.

Sebagian sahabat pada masa Rasulullah saw. berpuasa dan sebagian lagi tidak berpuasa karena mereka mengikuti saran Rasulullah. Hamzah al-Aslami bertanya, wahai Rasulullah, aku merasa mampu untuk tetap berpuasa dalam perjalanan. Apakah hal tersebut salah? Beliau menjawab,
 
هي رخصة من الله، فمَن أخذ بها فحسنٌ، ومَن أحبَّ أن يصوم فلا جناحَ عليه

"Ia adalah keringanan dari Allah swt. Barangsiapa yang mengambilnya, maka itu bnik, dan barang siapa masih ingin tetap berpunsa, maka tidak ada dosa baginya." (HR Muslim)

Manakah yang Lebih Utama bagi Orang yang Bepergian, Berpuasa atau Tidak Berpuasa?


Dari Abu Said al-Khudri, dia berkata, kami berperang bersama Rasulullah saw. pada bulan Ramadhan. Ketika itu, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Mereka yang berpuasa tidak menyalahkan mereka yang tidak berpuasa, dan mereka yang tidak berpuasa juga tidak menyalahkan mereka yang berpuasa. Di antara mereka terdapat pandangan bahwa orang yang merasa mampu lantas dia berpuasa, maka itu baik. Dan mereka berpandangan bahwa orang yang merasa lemah lantas tidak berpuasa, itu pun baik. (HR Ahmad dan Muslim) 

Bagi orang yang sedang bepergian, mana yang lebih utama, berbuka atau tetap berpuasa? Mengenai hal ini, para ulama fikih berbeda pendapat. Abu Hanifah, Syafi'i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih diutamakan bagi orang yang mampu melakukannya, dan berbuka lebih diutamakan bagi orang yang tidak mampu puasa.

Sementara imam Ahmad berpendapat, berbuka lebih utama dari pada tetap berpuasa. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih utama adalah yang paling mudah. Bagi orang-orang yang merasa kesulitan mengganti puasa dan baginya akan lebih mudah jika melakukan puasa pada saat itu, maka puasa lebih utama”

Asy-Syaukani membenarkan pendapat ini. Menurutnya, seseorang yang merasa berat untuk berpuasa dan akan berdampak buruk terhadap dirinya, demikian pula orang yang tidak ingin menolak keringanan yang diberikan kepadanya, maka tidak berpuasa lebih utama. Demikian pula dengan orang yang khawatir akan merasa sombong atau bersifat riya karena berpuasa ketika dalam perjalanan, maka berbuka lebih utama. Sebaliknya, apabila dengan berpuasa dapat menghilangkan perkara-perkara tersebut di atas, maka berpuasa tentunya lebih utama daripada tidak berpuasa.

Jika seorang yang hendak bepergian berniat puasa di malam hari dan sudah memulai perjalanannya, maka dia tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa pada siang harinya. Dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada tahun penaklukan kota Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura al-Ghamim' dan orang-orang turut berpuasa bersama beliau. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata, orang-orang merasa berat untuk meneruskan puasa dan mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan. Mendengar itu, Rasulullah meminta secawan air lalu meminumnya. Hal ini beliau lakukan setelah shalat Ashar dan orang-orang menyaksikan apa yang beliau lakukan. Lalu sebagian dari mereka ada yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian yang lain tetap meneruskan puasanya. Begitu Rasulullah melihat sebagian tetap berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang durhaka.” (HR Muslim, Nasai, dan Tirmidzi yang menyatakan kesahihannya)

Jika seseorang berniat puasa ketika masih mukim, lalu mengadakan perjalanan di siang hari, menurut mayoritas ulama, orang itu tidak dibolehkan membatalkan puasa. Tetapi imam Ahmad dan Ishaq membolehkannya berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dan dinyatakan hasan oleh Tirmidzi dari Muhammad bin Ka‘ab, dia berkata, pada bulan Ramadhan, aku mendatangi Anas bin Malik saat hendak mengadakan perjalanan. Kendaraannya sudah disiapkan dan dia pun telah memakai pakaian musafir. Saat itu, dia meminta diambilkan makanan kemudian memakannya. Melihat itu, aku bertanya kepadanya, apakah ini termasuk Sunnah? Dia menjawab, Sunnah. Kemudian dia menaiki kendaraannya.

Dari Ubaid bin Jubair, dia berkata, pada bulan Ramadhan, aku berlayar dengan menumpang sebuah kapal bersama Abu Bashrah al-Ghifari dari kota Fusthath. Namun kemudian dia menawarkan makan siang dan berkata, mendekatlah kemari. Aku bertanya, bukankah engkau sekarang ini masih di kawasan perumahan? Dia menjawab, apakah engkau tidak menyukai Sunnah Rasulullah saw.? (HR Ahmad, dan Abu Daud, dan perawinya dapat dipercaya)

Syaukani berkata, “Kedua hadits ini menyatakan bahwa orang yang bepergian dibolehkan untuk tidak berpuasa meskipun sebelum meninggalkan tempat kediamannya.” Dia berkata lagi, “Menurut Ibnu Arabi, hadits Anas ini sahih dan hadits ini membolehkan untuk tidak berpuasa meskipun masih dalam keadaan mempersiapkan keberangkatan.” Syaukani berkata, “Inilah pendapat yang benar.”

Perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, sedangkan masa bermukim yang dibolehkan bagi seorang yang bepergian untuk tidak berpuasa adalah selama dia dibolehkan menggqashar shalat. Semua masalah ini telah saya uraikan bahasa dalam bab shalat qashar yang juga saya sertakan uraian pendapat-pendapat ulama mengenai dan pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim. Ahmad, Abu Daud, Baihaki, dan Thahawi meriwayatkan dari Manshur al-Kalbi bahwa pada bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah pergi dari sebuah kampung di daerah Damaskus menuju suatu tempat yang jauhnya kira-kira antara kota Fusthath dengan kota Aqabah. 

Kemudian dia membatalkan puasa dan orang-orang turut membatalkan puasa bersamanya. Namun ada sebagian orang yang tidak ingin membatalkan puasanya. Setelah pulang ke kampungnya, Dihyah berkata, demi Allah, pada hari ini aku telah melihat suatu perkara yang menurutku aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Ternyata ada sejumlah orang yang tidak menyukai ajaran Rasulullah saw.. Dia mengatakan, kata-kata ini ditujukan kepada orangorang yang berpuasa ketika dalam perjalanan. Ketika itu dia berkata, ya Allah, wafatkanlah aku untuk menghadap-Mu. Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur al-Kalbi karena hanya Ijjli yang mempercayainya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama