Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati
I. PENGANTAR
Heboh. Selama beberapa hari, jagat Indonesia ramai dengan pemberitaan pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman yang mengolok-olok seorang penjual es teh, Sonhaji, dengan kata goblok, saat mengisi ceramah pada acara Magelang Bersholawat beberapa waktu lalu.
Sontak warganet melontarkan kritikan pedasnya hingga berujung Miftah minta maaf pada Sonhaji, bahkan ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan pada Jumat (6/12/2024). Meski demikian ia tetap akan menjadi pendakwah dengan mempertahankan karakter dakwahnya. Namun bakal lebih berhati-hati dalam memilih diksi yang diucapkan (tribunnews.com, 6/12/2024).
Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim turut menyoroti adab Miftah. Ia menyatakan, hal tersebut merupakan wujud kesombongan yang tidak hanya menghinggapi mereka yang tidak paham agama, tetapi juga terhadap seseorang yang mafhum akan ajaran agama, seperti pendakwah yang bicara tentang Islam, shalat, akidah, dan sunah. Ia menyampaikan hal ini saat mengisi acara internal Kementerian Keuangan Malaysia, dan disiarkan melalui akun Facebook resmi Anwar Ibrahim, pada Kamis (5/12/024).
Masalah adab ternyata masih menjadi PR besar bagi umat Islam di negeri ini. Tak hanya generasi yang mengidap niradab. Bahkan ada dari kalangan pendakwah seperti Miftah ini, dikenal sebagai sosok kurang beradab dalam lisannya. Kasus dengan Sonhaji bukanlah pertama kali. Ada beberapa video lama yang menayangkan lisan kotornya beredar lagi. Miris. Bukankah pendakwah seharusnya orang yang paling memahami adab dan mampu memberikan teladan adab yang baik? Bila para da'i terbiasa berlisan kotor, bahkan saat berdakwah itu sendiri, lantas bagaimana dengan umat manusia lainnya?
II. PERMASALAHAN
Untuk mendedah soal adab di balik kasus Miftah dan Sonhaji, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa adab seorang ustadz lebih penting dibandingkan ilmunya?
2. Bagaimana dampak keburukan adab seorang ustadz terhadap marwah dan kepercayaan umat?
3. Bagaimana strategi dakwah agar pembinaan umat dapat meningkatkan marwah dan kepercayaan umat?
III. PEMBAHASAN
A. Adab Ustadz, Teladan bagi Umat
Adab sangat penting dalam Islam. Setiap Muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Adab dalam Islam merujuk pada perilaku terpuji atau akhlak mulia dalam berbagai aspek kehidupan. Adab mencakup cara seseorang berinteraksi dengan Allah SWT dan Rasul-Nya, orang lain, serta alam semesta. Ini mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, rasa hormat, dan sikap rendah hati.
Adab bukan hanya soal tindakan, tetapi juga niat dan cara berpikir yang baik, yang semuanya bertujuan untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial dan memperoleh ridha Allah. Adab menjadi landasan bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam beribadah maupun berinteraksi dengan sesama.
Apalagi bagi para ulama, ustadz, pendakwah atau orang-orang yang biasa menyampaikan ajaran agama Islam. Adab menjadi keniscayaan, tak boleh ditinggalkan. Bahkan bisa jadi adab justru menjadi lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan "Al adabu fauqol 'ilmi" yang artinya adab lebih tinggi daripada ilmu.
Pepatah ini menunjukkan bahwa adab harus menjadi landasan sebelum mengejar ilmu pengetahuan. Dengan memiliki adab, seseorang dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya demi tujuan baik bagi dirinya dan orang lain.
Adapun dalil yang memperkuat pepatah “adab lebih tinggi daripada ilmu” bisa ditemukan dalam hadis berikut. "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia" (HR. Al Baihaqi.
Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian" (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian, adab seorang ustadz lebih penting dibandingkan ilmunya karena adab mencerminkan akhlak dan budi pekerti yang menjadi contoh bagi umat. Ustadz bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu yang dimiliki oleh seorang ustadz tanpa disertai adab bisa menyebabkan penyampaian ilmu tidak diterima dengan baik oleh masyarakat, bahkan bisa menimbulkan kesan negatif terhadap agama.
Terkait adab menyampaikan dakwah, Allah SWT telah memberikan rambu-rambunya. Dia berfirman, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk" (QS. An Nahl: 125).
Adab yang baik mencakup sikap rendah hati, sabar, bijaksana, dan menghormati orang lain, yang semua ini menjadi contoh nyata dari ajaran agama itu sendiri. Dalam konteks dakwah, adab yang baik lebih mudah mendekatkan hati umat kepada kebenaran yang diajarkan, sementara ilmu tanpa adab justru bisa menyebabkan kesombongan atau konflik. Jadi adab adalah dasar yang menguatkan nilai-nilai ilmu, dan menghindari penyalahgunaan ilmu untuk tujuan yang tidak baik.
B. Dampak Keburukan Adab Seorang Ustadz terhadap Marwah dan Kepercayaan Umat
Dampak keburukan adab seorang ustadz terhadap marwah dan kepercayaan umat bisa sangat besar dan merusak. Seorang ustadz, sebagai figur yang dihormati dan diikuti oleh banyak orang, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir dan perilaku umat.
Jika ustadz tersebut menunjukkan adab yang buruk, seperti sikap sombong, kasar, atau tidak menghormati orang lain, ini bisa menurunkan kredibilitasnya sebagai sumber ilmu dan teladan. Berikut dampak buruk lainnya.
Pertama, kehilangan kepercayaan umat. Umat yang melihat perilaku buruk dari seorang ustadz bisa kehilangan kepercayaan terhadap ajaran yang dia sampaikan. Kepercayaan ini adalah dasar hubungan antara seorang pemimpin agama dan pengikutnya. Jika seorang ustadz tidak mampu menjaga adab, umat bisa merasa ragu terhadap kualitas ilmu yang dia ajarkan.
Kedua, merusak marwah institusi. Jika seorang ustadz yang terkenal atau berada dalam posisi yang penting menunjukkan adab yang buruk, ini bisa merusak citra lembaga atau organisasi tempat ia berafiliasi. Banyak orang yang mungkin akan menilai seluruh lembaga tersebut berdasarkan perilaku satu individu, dan ini bisa merugikan kredibilitas lembaga tersebut dalam jangka panjang.
Ketiga, menurunkan kualitas dakwah. Umat mungkin akan lebih fokus pada kekurangan pribadi sang ustadz daripada pesan yang disampaikannya. Hal ini bisa mengalihkan perhatian dari inti dakwah itu sendiri, yang seharusnya menjadi pembelajaran dan perbaikan diri umat.
Keempat, pengaruh negatif terhadap pengikut. Umat yang mengikuti seorang ustadz tidak hanya menerima ilmu agama, tetapi juga mencontoh perilaku mereka. Jika ustadz menunjukkan sikap buruk, hal ini bisa memengaruhi pengikutnya dalam berinteraksi dengan orang lain, baik di dalam konteks agama maupun kehidupan sehari-hari.
Kelima, menyebabkan fitnah dan perpecahan. Umat bisa merasa kecewa, bahkan berpotensi terpecah jika seorang ustadz menunjukkan sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, seperti kesabaran, rendah hati, dan kasih sayang. Hal ini bisa memicu fitnah dan konflik internal di kalangan pengikutnya.
Secara keseluruhan, adab atau akhlak mulia sangat penting bagi seorang ustadz dalam menjaga marwah, kredibilitas, dan pengaruh dakwahnya. Sebagai teladan, sikap dan perilaku ustadz menjadi bagian integral dari dakwah yang efektif.
C. Strategi Dakwah agar Pembinaan Umat dapat Meningkatkan Marwah dan Kepercayaan Mereka
Untuk meningkatkan marwah dan kepercayaan umat, strategi dakwah yang diterapkan harus mencakup pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan, dengan menekankan pada kualitas pembinaan yang mendalam dan contoh teladan yang nyata. Berikut beberapa strategi dakwah yang efektif:
Pertama, menjaga akhlak yang baik. Seorang da'i (pembimbing) harus menjadi teladan dalam adab. Sikap rendah hati, sabar, jujur, dan kasih sayang harus selalu ditunjukkan dalam setiap interaksi. Keberhasilan dakwah tidak hanya ditentukan oleh seberapa hebat materi yang disampaikan, tetapi juga oleh bagaimana perilaku seorang ustadz atau da'i. Kepercayaan umat sering kali lebih mudah diperoleh ketika mereka melihat bahwa seorang da'i bukan hanya mengajar, tetapi juga mempraktikkan ajaran yang disampaikannya.
Kedua, menyampaikan ilmu dengan santun berdasarkan Al-Qur'an dan hadis. Dakwah harus didasarkan pada ilmu yang sahih yakni Al-Qur'an dan hadis serta penafsiran yang benar. Menyampaikan dakwah dengan pendekatan yang ilmiah dan berdasar pada sumber yang otoritatif akan memberikan rasa percaya kepada umat terhadap kualitas ajaran yang diberikan. Selain itu, penting juga untuk menghindari penggunaan bahasa kasar atau merendahkan, karena hal ini dapat menurunkan citra dakwah dan merusak hubungan dengan umat.
Ketiga, pendekatan personal dan empati. Setiap individu memiliki kondisi dan masalah yang berbeda. Seorang da'i harus mampu memahami keadaan umat yang dibina dan memberikan solusi yang relevan sesuai konteks mereka. Pendekatan dakwah yang personal dan penuh empati akan menciptakan ikatan yang lebih kuat dengan umat, sehingga mereka merasa didengar dan dipahami.
Keempat, mengarahkan umat pada pengamalan nilai agama (adab). Pembinaan karakter dan akhlak harus menjadi prioritas utama dalam dakwah. Pembinaan ini tidak hanya mencakup pengetahuan agama, tetapi juga penerapan nilai-nilai agama (adab) dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga pada perubahan perilaku yang positif, akan meningkatkan kualitas umat secara keseluruhan.
Kelima, menerapkan dakwah yang menyentuh hati dan berorientasi pada solusi. Dakwah yang menyentuh hati akan lebih mudah diterima oleh umat. Oleh karena itu, seorang da'i harus mampu menyampaikan pesan dengan cara lembut dan menyentuh perasaan, bukan sekadar menghafal dan menyampaikan teori. Selain itu, dakwah juga harus berorientasi pada solusi, yaitu memberikan cara atau langkah nyata untuk mengatasi masalah umat, baik itu masalah spiritual, sosial, maupun psikologis.
Keenam, konsistensi dan keberlanjutan dalam dakwah. Kepercayaan umat dibangun melalui konsistensi dan keberlanjutan dakwah. Umat akan lebih percaya kepada seorang ustadz atau lembaga dakwah jika mereka merasa ada kontinuitas dan konsistensi dalam pembinaan dan penyampaian ilmu. Dakwah yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan memanfaatkan berbagai media, baik itu ceramah, tulisan, atau bahkan platform digital, akan membantu membangun hubungan yang lebih dalam dan berkelanjutan dengan umat.
Ketujuh, memberikan teladan dalam kepemimpinan yang adil.
Seorang ustadz atau pemimpin dakwah harus menjadi teladan dalam kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Tindakan adil ini akan memperkuat marwah da'i dan meningkatkan kepercayaan umat terhadap kepemimpinannya. Kepemimpinan yang baik menciptakan rasa hormat dan percaya, sementara ketidakadilan atau penyalahgunaan wewenang dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan umat dan pemimpin.
Kedelapan, menghargai pendapat dan perbedaan di kalangan umat. Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang mampu menghargai dan menghormati perbedaan pendapat yang ada dalam masyarakat. Umat Islam tidak boleh dipaksa untuk sepakat dalam segala hal, tetapi mereka harus didorong untuk berdialog secara konstruktif dan mencari solusi terbaik yang sejalan dengan prinsip Islam. Ini akan menciptakan suasana saling menghargai dan memperkuat ikatan persaudaraan antarumat.
Kesembilan, menggunakan media digital secara bijak. Dengan berkembangnya teknologi, dakwah bisa dilakukan melalui berbagai media, seperti media sosial, website, dan aplikasi digital. Menggunakan media digital untuk menyebarkan ilmu agama secara bijak dan profesional dapat membantu dakwah menjangkau lebih banyak umat. Namun, penting untuk menjaga adab dalam berinteraksi di dunia maya, agar marwah dakwah tetap terjaga.
Dengan demikian, strategi dakwah yang dapat meningkatkan marwah dan kepercayaan umat bukan hanya terkait materi yang disampaikan, tetapi juga bagaimana seorang da'i menjaga adab, kualitas pribadi, serta interaksi dengan umat. Pembinaan yang berbasis pada akhlak mulia, konsistensi, empati, dan keberlanjutan akan memperkuat hubungan dengan umat dan meningkatkan kepercayaan terhadap dakwah yang disampaikan.
IV. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Adab seorang ustadz lebih penting dibandingkan ilmunya karena mencerminkan akhlak dan budi pekerti yang menjadi contoh bagi umat. Ustadz bukan sekadar pengajar tetapi juga teladan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dampak keburukan adab seorang ustadz terhadap marwah dan kepercayaan umat antara lain; kehilangan kepercayaan umat, merusak marwah institusi, menurunkan kualitas dakwah, pengaruh negatif terhadap pengikut, serta bisa menyebabkan fitnah dan perpecahan.
3. Strategi dakwah agar pembinaan umat dapat meningkatkan marwah dan kepercayaan mereka yaitu; menjaga akhlak baik, menyampaikan ilmu dengan santun berdasarkan Al-Qur'an dan hadis, pendekatan personal dan empati, mengarahkan umat pada pengalaman nilai agama (adab), dakwah yang menyentuh hati dan berorientasi solusi, konsistensi dalam dakwah, teladan dalam kepemimpinan yang adil, menghargai pendapat dan perbedaan di kalangan umat, serta menggunakan media digital secara bijak.
Tags:
Adab