Pengertian Air Musta'mal, Dalil, Hukum dan Contohnya

Pengertian Air Musta'mal, Dalil, Hukum dan Contohnya

Fikroh.com - Melalui artikel ini penulis akan menguraikan secara detail mengenai air Musta'mal, pengertian, hukum dan Contohnya. Air musta'mal masuk dalam kategori air suci tidak menyucikan. Imam al-Nawawī (w. 676 H) mengatakan:

أَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ طَاهِرٌ عِنْدَنَا بِلَا خِلَافٍ وَلَيْسَ بِمُطَهِّرٍ عَلَى المَذْهَبِ
 
“𝐴𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑚𝑖 (𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠𝑛𝑦𝑎) 𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑘ℎ𝑖𝑙𝑎𝑓. 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑢𝑐𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑧ℎ𝑎𝑏”

𝐏𝐞𝐧𝐠𝐞𝐫𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐀𝐢𝐫 𝐌𝐮𝐬𝐭𝐚’𝐦𝐚𝐥


Air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci fardhu yang berfungsi untuk menghilangkan penghalang -selanjutnya diistilahkan dengan māni’-, baik itu penghalang dari ibadah atau penghalang dari kebolehan menggauli istri.

Māni’ ini bisa berupa najis, hadas atau yang semakna dengan hadas. Baik najis atau hadas yang merupakan penghalang sahnya ibadah, semuanya bisa dihilangkan dengan air.

Air bekas penghilang māni’ inilah yang kemudian disebut dengan air musta’mal. Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’aly Ba’isyn al-Haḍrami (w. 1270 H) mengatakan:

وَهُوَ مَا أُزِيْلَ بِهِ مَانِعٌ مِنْ خَبَثٍ وَلَوْ مَعْفُواً عَنْهُ أَوْ مِنْ حَدَثٍ
 
“𝐴𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎̄𝑛𝑖’ 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎 𝑛𝑎𝑗𝑖𝑠 -𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑛𝑎𝑗𝑖𝑠 𝑚𝑎’𝑓𝑢 ‘𝑎𝑛ℎ𝑢- 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎 ℎ𝑎𝑑𝑎𝑠.”

Sebagai contoh, air bekas basuhan ketujuh dalam proses menghilangkan najis mugallaẓah atau air bekas basuhan pertama dalam proses menghilangkan najis mukhaffafah atau najis mutawasiṭah, air tersebut masuk dalam definisi air musta’mal.

Begitu juga air bekas mandi janabah atau wudhu, baik wudhunya itu wudhu yang normal, yakni wudhu untuk mengangkat hadas atau wudhu lil-istibāhah, yakni wudhunya orang dāim al-hadas  untuk dapat melaksankan shalat yang sah. Air bekas itu semua masuk definisi air musta’mal.

Bahkan lebih jauh lagi, al-Bājuriy (w. 1276 H) mendefinisikan air musta’mal ini dengan begitu lengkap, beliau mengatakan:
 
 هُوَ مَا أُدِّيَ بِهِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ أَثِمَ الشَّخْصُ بِتَرْكِهِ أَمْ لَا عِبَادَةً كَانَ أَمْ لَا
 
“𝐴𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑓𝑎𝑟𝑑ℎ𝑢. 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑖𝑛𝑖, 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑜𝑠𝑎 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘, 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎 𝑖𝑏𝑎𝑑𝑎ℎ 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛.”

Sebagai contoh, anak kecil yang hendak ṭawaf disyaratkan untuk berwudhu terlebih dahulu, padahal anak kecil ini jika tidak ṭawaf pun tidak berdosa karena tidak wajib. Air bekas wudhu anak ini masuk dalam definisi air musta’mal.

Begitu juga seorang wanita ahli kitab yang telah berhenti haid, dia melakukan aktivitas mandi supaya halal digauli oleh suaminya yang muslim. Maka dalam hal ini, mandi yang dilakukan wanita tadi bukanlah ibadah tetapi air bekas mandi itu masuk definisi air musta’mal.

Adapun air bekas penggunaan bersuci yang sifatnya sunah, maka air ini tidak termasuk air musta’mal, air ini masih sah digunakan sebagai media bersuci. Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) mengatakan:

وَالمُسْتَعْمَلُ فِيْ طُهْرٍ مَسْنُوْنٍ كَالغَسْلَةِ الثَّانِيَّةِ وَالثَّالِثَةِ وَالوُضُوْءِ المُجَدَّدِ وَالغُسْلِ المَسْنُوْنِ تَصِحُّ الطَّهَارَةُ بِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَيْهِ مَانِعٌ
 
“𝐴𝑑𝑎𝑝𝑢𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑏𝑒𝑘𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑛𝑎ℎ, 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑢𝑑ℎ𝑢) 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟𝑏𝑎ℎ𝑎𝑟𝑢𝑖 𝑤𝑢𝑑ℎ𝑢, 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖 𝑠𝑢𝑛𝑎ℎ, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 (ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎) 𝑠𝑎ℎ, 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑚𝑎̄𝑛𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑘𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢.”
 
Ringkasnya, karena bersuci sunah itu tidak berfungsi sebagai penghilang māni’, maka air yang digunakan untuk itu pun tidak tertular māni’, sehingga masih sah digunakan untuk bersuci.

𝐒𝐲𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐀𝐢𝐫 𝐌𝐮𝐬𝐭𝐚’𝐦𝐚𝐥


Suatu air dapat dikatakan sebagai musta’mal atau terkena pengaruh isti’mal (pemakaian) apabila telah memenuhi empat syarat. Sayyid Abu Bakr Syaṭā (w. 1310 H) mengatakan:

وَاعْلَمْ أَنَّ شُرُوْطَ الِاسْتِعْمَالِ أَرْبَعَةٌ، تُعْلَمُ مِنْ كَلَامِهِ: قِلَّةُ المَاءِ وَاسْتِعْمَالُهُ فِيْمَا لَا بُدَّ مِنْهُ، وَأَنْ يَنْفَصِلَ عَنْ العُضْوِ، وَعَدَمُ نِيَّةِ الاِغْتِرَافِ فِيْ مَحَلِّهَا
 
“𝐾𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖𝑙𝑎ℎ, 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑎𝑡 (𝑏𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑛𝑦𝑎) ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚 𝑖𝑠𝑡𝑖’𝑚𝑎𝑙 𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡; 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡𝑛𝑦𝑎 (𝑘𝑢𝑎𝑛𝑡𝑖𝑡𝑎𝑠) 𝑎𝑖𝑟, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑓𝑎𝑟𝑑ℎ𝑢, 𝑎𝑖𝑟𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ (𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ), 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑖𝑔𝑡𝑖𝑟𝑎𝑓 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎.”
 

𝟏. 𝐊𝐮𝐚𝐧𝐭𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐀𝐢𝐫 𝐒𝐞𝐝𝐢𝐤𝐢𝐭


Syarat pertama yaitu terkait kuantitas atau volume air, air mutlak yang dapat berubah menjadi air musta’mal hanyalah air dengan kuantitas sedikit, yakni kurang dari dua kulah . Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) mengatakan:

أَنَّ الِاسْتِعْمَالَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ قِلَّةِ الْمَاء
 
“𝑆𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑎𝑙𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖) 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡𝑛𝑦𝑎 (𝑘𝑢𝑎𝑛𝑡𝑖𝑡𝑎𝑠) 𝑎𝑖𝑟.”

Air dengan kuantitas yang banyak -yaitu dua kulah atau lebih-, tidak akan menjadi air musta’mal meskipun digunakan berkali-kali untuk bersuci. Imam al-Mawardi (w. 450 H) mengatakan:

فَإِنْ كَانَ قُلَّتَيْنِ وَقْتَ اسْتِعْمَالِهِ كَجُنُبٍ اغْتَسَلَ فِي قُلَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ، فَالْمَاءُ طَاهِرٌ، وَخَارِجٌ عَنْ حُكْمِ الْمُسْتَعْمَلِ
 
“𝐴𝑝𝑎𝑏𝑖𝑙𝑎 (𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒) 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑢𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛, 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑢𝑛𝑢𝑏 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖 𝑑𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑢𝑙𝑎ℎ, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢 (𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝) 𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙.”

𝟐. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐌a𝐧𝐢’


Syarat kedua ini sudah dijelaskan dengan cukup rinci pada pembahasan pengertian air musta’mal dan yang setelahnya. Intinya, bahwa air mutlak dapat berubah menjadi air musta’mal adalah ketika air tersebut telah digunakan sebagai penghilang māni’.

Menghilangkan māni’ ini bisa dengan cara berwudhu untuk mengangkat hadas kecil, wudhu lil-istibāhah bagi dāim al-hadas, mandi mengangkat janabah dan membasuh objek yang terkena najis.

Adapun air bekas bersuci yang tidak berfungsi menghilangkan māni’, seperti memperbaharui wudhu atau mandi sunah, maka air bekas itu tidak masuk definisi air musta’mal.

𝟑. 𝐀𝐥-𝐈𝐧𝐟𝐢shal

 
Syarat ketiga adalah al-infiṣāl, yakni terpisahnya air dari objek yang dibasuh dalam proses bersuci. Al-Khaṭib al-Syirbini (w. 977 H) mengatakan:

لَا يَكُوْنُ المَاءُ مُسْتَعْمَلًا إِلَّا إِذَا انْفَصَلَ عَنِ الْعُضْوِ
 
“𝐴𝑖𝑟 (𝑚𝑢𝑡𝑙𝑎𝑘) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 (𝑎𝑖𝑟) 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑎𝑙𝑖 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑎 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ (𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ).”

Artinya, selama air itu masih menempel pada tubuh yang dibasuh, maka air itu tidak disebut air musta’mal.
 
Infiṣāl ini ada dua jenis; Infiṣāl dalam arti faktual (haqīqatan) dan Infiṣāl dalam arti status hukum (hukman). Infiṣāl dalam arti faktual misalnya air yang dipakai membasuh sudah terpisah dan jatuh dari bagian tubuh yang dibasuh, sementara Infiṣāl secara hukum misalnya air yang dipakai membasuh tangan saat berwudhu mengalir hingga melewati batas tangan. Melewatnya air dari batas tangan saat membasuh tangan inilah yang disebut Infiṣāl hukman.

Baik Infiṣāl haqīqatan atau Infiṣāl hukman, keduanya memberi dampak perubahan status air, yang tadinya air mutlak yang suci menyucikan menjadi air musta’mal yang suci tapi tidak menyucikan.

Kesimpulannya; bahwa air basuhan yang masih menempel pada anggota tubuh wudhu orang yang berwudhu atau menempel pada tubuh orang junub yang mandi janabah, status air tersebut masih suci menyucikan. Begitu juga air basuhan yang menempel pada benda mutanajis, selama air itu tidak berubah sifatnya maka masih berstatus suci menyucikan. Al-Khaṭib al-Syirbini (w. 977 H) mengatakan:

وَالْمَاءُ الْمُتَرَدِّدُ عَلَى عُضْوِ الْمُتَوَضِّئِ وَعَلَى بَدَنِ الْجُنُبِ وَعَلَى الْمُتَنَجِّسِ إنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَهُورٌ
 
“𝐴𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑜𝑡𝑎 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ 𝑤𝑢𝑑ℎ𝑢 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑤𝑢𝑑ℎ𝑢, 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 (𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖) 𝑗𝑢𝑛𝑢𝑏, 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑚𝑢𝑡𝑎𝑛𝑎𝑗𝑖𝑠 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ (𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎), 𝑚𝑎𝑘𝑎 (𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 𝑎𝑖𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡) 𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑢𝑐𝑖𝑘𝑎𝑛.”

𝟒. 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐁𝐞𝐫𝐧𝐢𝐚𝐭 𝐈𝐠𝐭𝐢𝐫o𝐟


Syarat keempat terjadinya status musta’mal pada air adalah ketiadaan niat igtirāf pada saat menggunakan air. Igtirāf sendiri secara bahasa artinya menciduk, yakni mengambil air menggunakan tangan.

Adapun niat igtirāf, maka maksudnya adalah kesadaran hati untuk mengambil air dari dalam wadah untuk kemudian digunakan untuk membasuh di luar wadah itu.

Walhasil, jika saat menciduk air terbersit kesadaran hati semacam itu maka dia sudah niat igtirāf, dan bekas air yang diciduk tersebut tidak menjadi air musta’mal. Al-Khaṭib al-Syirbini (w. 977 H) mengatakan:

إذَا نَوَى الِاغْتِرَافَ بِأَنْ قَصَدَ نَقْلَ الْمَاءِ مِنْ الْإِنَاءِ وَالْغَسْلَ بِهِ خَارِجَهُ لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا
 
“𝐷𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑠𝑒𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑖𝑔𝑡𝑖𝑟𝑎̄𝑓, 𝑦𝑎𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑖𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑚𝑎𝑘𝑠𝑢𝑑 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ, 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ 𝑑𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢, 𝑚𝑎𝑘𝑎 (𝑏𝑒𝑘𝑎𝑠 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑖 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙.”

Inilah hakikat niat igtirāf itu dan hampir semua orang ketika menciduk air dalam hatinya terbesit kesadaran semacam ini, bahkan orang awam yang belum pernah belajar tentang masalah igtirāf ini sekali pun. Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (w. 1193 H) mengatakan:

وَظَاهِرٌ أَنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ حَتَّى الْعَوَامّ إنَّمَا يَقْصِدُونَ بِإِخْرَاجِ الْمَاءِ مِنْ الْإِنَاءِ غَسْلَ أَيْدِيهِمْ خَارِجَهُ وَلَا يَقْصِدُونَ غَسْلَهَا دَاخِلَهُ وَهَذَا هُوَ حَقِيقَةُ نِيَّةِ الِاغْتِرَافِ
 
“𝐷𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑙𝑎𝑠, 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑘𝑒𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑢𝑛, (𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑑𝑢𝑘) 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑚𝑎𝑘𝑠𝑢𝑑 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ 𝑖𝑡𝑢, 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑚𝑎𝑘𝑠𝑢𝑑 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑖𝑟) 𝑑𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ. 𝐼𝑛𝑖𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑘𝑖𝑘𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑖𝑔𝑡𝑖𝑟𝑎̄𝑓.”

Adapun jika saat menciduk air tidak terbesit niat igtirāf, maka bekas air tersebut berubah status menjadi air musta’mal. Syekh Abdul Hamid al-Syarwāni al-Dagistani (w. 1301 H) dalam Hāsyiahnya mengatakan:

وَلَوْ غَرَفَ بِكَفِّهِ جُنُبٌ نَوَى رَفْعَ الْجَنَابَةِ أَوْ مُحْدِثٌ بَعْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ الْغَسَلَاتِ الثَّلَاثِ إنْ لَمْ يُرِدْ الِاقْتِصَارَ عَلَى أَقَلَّ مِنْ الثَّلَاثِ مِنْ مَاءٍ قَلِيلٍ وَلَمْ يَنْوِ الِاغْتِرَافَ بِأَنْ نَوَى اسْتِعْمَالًا أَوْ أَطْلَقَ صَارَ مُسْتَعْمَلا
 
“𝐴𝑝𝑎𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑢𝑛𝑢𝑏 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑑𝑢𝑘 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑗𝑎𝑛𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑑𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ 𝑤𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑔𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑖 -𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑢𝑑 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ𝑎𝑛-, 𝑑𝑖𝑎 (𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑑𝑢𝑘) 𝑎𝑖𝑟 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡 𝑖𝑡𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑎𝑑𝑎 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑖𝑔ℎ𝑡𝑖𝑟𝑎𝑓, - 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑠𝑢ℎ) 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑛𝑖𝑎𝑡 𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑗𝑎- 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙.”

Jelasnya, apabila orang yang junub mandi janabah menggunakan air sedikit (kurang dari dua kulah), dalam proses mandinya itu dia menciduk air tersebut, sementara dalam hatinya tidak terbersit niat igtirāf, maka air bekas cidukan tadi menjadi air musta’mal.
Begitu juga dalam wudhu, orang yang sudah membasuh wajahnya , lalu dia menciduk air tanpa ada niat igtirāf dalam hatinya, maka air tersebut menjadi air musta’mal.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐛𝐚𝐡 𝐀𝐢𝐫 𝐌𝐮𝐬𝐭𝐚’𝐦𝐚𝐥 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐀𝐢𝐫 𝐌𝐮𝐭𝐥𝐚𝐤


Air musta’mal dapat kembali menjadi air mutlak -air yang suci menyucikan- dengan cara mengumpulkannya hingga mencapai dua kulah. Syekh al-Islam Zakariya al-Anṣārī (w. 926 H) mengatakan:

فَإِنْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ صَارَ طَهُورًا
 
“𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑑𝑖𝑘𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑢𝑙𝑎ℎ, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑎 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑢𝑐𝑖𝑘𝑎𝑛.”

Alasannya adalah sebagaimana disampaikan oleh al-Syirbini, bahwa kenajisan itu lebih berat dari isti’mal, jika saja air mutanajis  dikumpulkan hingga dua kulah dapat menjadi air mutlak, apalagi hanya sebatas air musta’mal;

لِأَنَّ النَّجَاسَةَ أَشَدُّ مِنْ الِاسْتِعْمَالِ، وَالْمَاءُ الْمُتَنَجِّسِ لَوْ جُمِعَ حَتَّى بَلَغَ قُلَّتَيْنِ أَيْ وَلَا تَغَيُّرَ بِهِ صَارَ طَهُورًا قَطْعًا فَالْمُسْتَعْمَلُ أَوْلَى
 
“(𝐴𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎) 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑛𝑎𝑗𝑖𝑠 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑖𝑠𝑡𝑖’𝑚𝑎𝑙. 𝐴𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑡𝑎𝑛𝑎𝑗𝑖𝑠 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑘𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑢𝑙𝑎ℎ -𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡- 𝑛𝑖𝑠𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑑𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑠𝑢𝑐𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑢𝑐𝑖𝑘𝑎𝑛, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑚𝑎𝑙 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖𝑡𝑢).”

Adapun hal yang menunjukkan bahwa najis lebih berat dari isti’mal dapat dilihat dari pengaruhnya pada air; najis apabila mengenai air mutlak yang sedikit, maka najis itu akan menghilangkan dua status yang disandang air tersebut, yaitu status suci dan status menyucikan. Sementara isti’mal hanya menghilangkan satu status saja, yaitu status menyucikannya. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama