Guru Gembul Bermanhaj Salaf?

Guru Gembul Bermanhaj Salaf?

Oleh: Muhammad Atim

Fikroh.com - Ada sebagian netizen yang berkomentar atas debat Guru Gembul dan Ust. Muhammad Nuruddin bahwa Guru Gembul ini bermanhaj Salaf. Komentator tersebut berasumsi seperti itu karena GG menukil perkataan Salaf, diantaranya imam Malik yang mengatakan bahwa jangan menanyakan tentang hakikat sifat Allah. Baik komentator tersebut, maupun GG sama-sama tidak paham dan tidak bisa menempatkan maksud dari perkataan para ulama Salaf tersebut.

Sebagaimana diketahui, Guru Gembul ini mengklaim bahwa aqidah Islam, termasuk di dalamnya meyakini keberadaan Allah dan mengenal sifat-sifat-Nya, tidak bisa diilmiahkan, tidak perlu dibawa-bawa ke dalam ranah ilmiah. Melainkan ia sebatas dogma yang cukup dipercayai saja, tidak perlu dipikirkan secara rasional dan tidak perlu dicari-cari argumentasinya.

Berdalil dengan pernyataan para ulama Salaf tersebut untuk mendukung klaimnya, sama sekali tidak tepat, alias tidak nyambung. Nampaknya itu sudah menjadi kebiasaannya. Jika kita mengamati paparannya dalam berbagai topik yang ia bahas di channel youtubenya, seringkali tidak bisa menempatkan informasi yang ia kutip, sehingga melahirkan kesimpulan yang salah kaprah. Orang berilmu itu bukanlah orang yang hanya sebatas mengumpulkan banyak informasi, tetapi yang mampu menyusun dan menempatkannya dengan tepat, mengolahnya dan mengambil kesimpulan secara benar. Kalau hanya sebatas mengumpulkan banyak informasi, orang gila pun seringkali masih tersimpan banyak informasi di kepalanya, tetapi kecacatan pada orang gila adalah tidak mampu menyusun dan menempatkannya dengan benar.

Para ulama Salaf itu, meskipun menegaskan bahwa zat dan sifat Allah itu tidak mungkin dijangkau hakikatnya oleh akal, tetapi tidak berarti tidak bisa untuk memiliki ilmu tentang-Nya. Justru mereka menegaskan bahwa kewajiban paling utama adalah mengenal Allah dan mentauhidkan-Nya. Sebagaimana Allah sebutkan :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ

"Maka ketahuilah/ilmuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah..." (QS. Muhammad : 19).

Ayat ini jelas merupakan perintah yang menunjukkan wajib agar memiliki ilmu tentang keberadaan Allah, keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya.

Makanya menurut aqidah Ahlus Sunnah Salafush Shaleh itu, sebagaimana diuraikan oleh Al-Lalakai (w. 418 H) :

فَإِنَّ أَوْجَبَ مَا عَلَى الْمَرْءِ مَعْرِفَةُ اعْتِقَادِ الدِّينِ، وَمَا كَلَّفَ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ مِنْ فَهْمِ تَوْحِيدِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَصْدِيقِ رُسُلِهِ بِالدَّلَائِلِ وَالْيَقِينِ، وَالتَّوَصُّلِ إِلَى طُرُقِهَا وَالِاسْتِدْلَالِ عَلَيْهَا بِالْحُجَجِ وَالْبَرَاهِينِ

"Maka sesungguhnya yang paling wajib bagi seseorang adalah mengenal aqidah agama, dan apa yang Allah wajibkan kepada para hamba-Nya, berupa memahami tauhid-Nya, sifat-sifat-Nya dan membenarkan para rasul-Nya dengan dalil-dalil dan keyakinan, dan sampai kepada metode-metodenya dan berdalil terhadapnya dengan hujjah-hujjah dan bukti-bukti." (Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah, 1/7).

Bagaimana mungkin ilmu yang merupakan kewajiban utama untuk dipelajari disebut tidak ilmiah?

Ilmiah itu artinya sesuatu itu sah disebut sebagai ilmu. Bagaimana mungkin wahyu dari Allah, baik Al-Qur'an maupun Sunnah, yang di dalamnya berisi aqidah dan syariah yang banyak disebut di dalam nash sebagai ilmu, kita katakan tidak ilmiah?

Di antaranya dalam ayat :

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah *ilmu* datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah : 120).

Bahkan, ilmu wahyu ini kebenarannya telah dibuktikan dengan hujjah-hujjah. Bahkan hujjah-hujjah itu sendiri telah disebutkan di dalam banyak nash Al-Qur'an. Bahkan tidak ada aqidah yang disampaikan di dalam Al-Qur'an kecuali diiringi dengan hujjah-hujjah akal yang membuktikan kebenarannya, karena Allah berbicara kepada manusia untuk berpikir menggunakan akalnya. Dan kita disuruh untuk mempelajarinya sebagaimana dikatakan oleh Al-Lalakai di atas.

Di antaranya hujjah akal untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta yang disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur'an. Paling tidak ada dua macam hujjah akal yang bisa kita sebutkan di sini, yang sering disebut di dalam Al-Qur'an.

Pertama, hujjah dengan keberadaan kita dan alam, yang memiliki permulaan dan akhir yang menunjukkan ada yang mengadakan/menciptakan. Tidak mungkin ada dengan sendirinya atau menciptakan diri sendiri. (Dalil al-ijad wal khalq).

Diantaranya disebutkan dalam ayat :

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ. أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۚ بَلْ لَا يُوقِنُونَ

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (QS. Ath-Thur : 35-36).

Kedua, hujjah dengan adanya keteraturan, kerapihan dan kehebatan penciptaan alam (dalil al-ihkam wal itqan).

Banyak sekali ayat yang menyuruh kita untuk merenungkan kehebatan penciptaan alam ini agar kita beriman kepada Allah. Di antaranya :

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ ۚ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ ۚ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. An-Naml : 88).

Makanya para ulama Salaf, diantaranya 4 imam, berdalil dengan dalil ini. Imam Malik berdalil dengan adanya perbedaan bahasa, suara dan bunyi. Kerumitan, keanekaragaman dan keunikan ini menunjukkan adanya Sang Pencipta. Imam Abu Hanifah berdalil dengan perbandingan, kalau ada satu kapal yang berlayar di lautan membawa barang-barang, sangat teratur dalam berlayar dan piawai menghadapi badai, tidak mungkin tanpa adanya yang menahkodai, maka bagaimana keberadaan alam yang besar ini, tidak mungkin tidak ada yang menciptakan dan mengendalikannya! Imam Syafi'i berdalil dengan satu tumbuhan yaitu daun murbey, jika dimakan oleh ulat keluar sutra, dimakan lebah keluar madu, dimakan hewan ternak keluar kotoran, dan dimakan rusa keluar kasturi, padahal berasal dari satu makanan yaitu daun murbey. Kehebatan penciptaan ini menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Mengetahui dan Maha Teliti. Imam Ahmad berdalil dengan telur yang terbungkus cangkang yang kuat tetapi kemudian menetas dan keluar satu hewan yang bernama ayam, yang unik bisa mendengar dan melihat. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/106-107). Wallahul Muwaffiq.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama