Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ujian iman dalam Islam itu memang bil gaib (بِالْغَيْبِ). Artinya, sesuatu diyakni keberadaannya walaupun tidak bisa diindra. Allah, malaikat, wahyu, surga, neraka, takdir dan semisalnya itu diyakini eksistensinya walaupun kita tidak mampu melihatnya, mendengarnya, membauinya, mengecapnya, dan merabanya.
Jika Allah bisa dilihat atau diindra, maka tidak ada maknanya lagi ujian iman bil gaib. Justru karena Allah tidak bisa diindra (gairu maḥsūs), maka iman terhadap eksistensiNya itu disebut dengan iman bil gaib. Jika orang sudah bisa mengindra Allah, maka iman seperti itu tidak disebut lagi iman bil gaib tapi iman bil musyāhadah (بِالْمُشَاهَدَةِ).
Allah memuji hambaNya yang beriman secara bil gaib. Artinya, selama kita hidup di dunia maka selama itu pula kita tidak akan pernah bisa mengindra realitas dari rincian iman dalam Islam. Allah berfirman,
﴿الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ﴾ [البقرة: 3]
Artinya,
"Orang-orang yang beriman dengan yang gaib" (Q.S. al-Baqarah: 3)
Ibnu ‘Āsyūr berkata,
«وَالْمُرَادُ بِالْغَيْبِ مَا لَا يُدْرَكُ بِالْحَوَاسِّ». «التحرير والتنوير» (1/ 229)
Artinya,
“Maksud bil gaib adalah sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra” (al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, juz 1 hlm 229)
***
Hanya saja, iman bil gaib tidak bermakna percaya begitu saja dengan doktrin secara membuta tanpa pembuktian.
Iman bil gaib itu tetap berdasar pembuktian yang bisa diterima akal sehat, asalkan obyektif dan adil.
Sebab, meyakini keberadaan sesuatu itu banyak jalannya. Tidak dibatasi hanya lewat jalan indra dan tidak pula dibatasi harus diindera sendiri. Terkadang memang lewat indra, tetapi kadang lewat nalar rasional, bahkan bisa lewat berita orang lain (yang melalui nalar rasional mustahil dusta).
Membuktikan sesuatu dengan indra adalah cara umum. Bisa diterima. Hanya saja terkadang indra itu menipu. Contohnya, kita memasukkan pensil ke dalam gelas berair lalu terlihat bengkok. Indra kita melihatnya bengkok, dan itu menipu karena hakikatnya sebenarnya tetap lurus. Mata kita melihat air dari kejauhan, ternyata hanya fatamorgana. Kita merasa seseorang suka dan cinta pada kita, nyatanya sebenarnya dia tidak ada perasaan apa-apa. Begitulah indra, walau bisa dipercaya tetapi terkadang menipu jika tidak kritis.
***
Banyak hal yang kita meyakini keberadaannya walaupun tidak mengindra, tetapi cukup dari tanda-tandanya. Umpamanya kita meyakini akal itu ada, kemauan itu ada, cinta itu ada. Semuanya diyakini ada bukan karena kita pernah menginderanya, tetapi dari tanda-tandanya.
Saintis juga yakin gaya gravitasi ada, medan magnet ada, elektron, proton, dan lain-lain ada bukan karena pernah mengindranya, tetapi menganalisis dari tanda-tandanya.
Prinsip-prinsip matematika juga bukti lugas, bahwa kita mempercayai kebenaran sesuatu bukan lewat indra, tapi semata-mata bernalar secara rasional.
***
Bahkan sampai hari ini kita banyak meyakini sesuatu hanya berdasarkan berita orang yang kita yakini benar. Contoh,
• Kita tidak pernah ketemu Sukarno, presiden pertama RI, tidak pernah melihatnya, tidak pernah menginderanya. Tetapi kita percaya Sukarno itu ada karena muslim yang pernah bertemu dengannya mengatakan dia ada, Kristen, Hindu, bahkan PKI dan ateis pun bersaksi dia ada. Karena berita keberadaan Sukarno ini berasal dari persaksian banyak orang yang memustahilkan mereka bersepakat untuk berdusta, maka kita percaya sosok ini ada
• Kebanyakan kita mungkin tidak pernah melihat kota New York secara langsung. Tapi kita percaya kota ini ada, bukan dongeng, bukan hologram, bukan konspirasi elit global. Sebab banyak manusia yang sudah pernah ke sana membenarkan bahwa kota ini ada. Jadi kita meyakini keberadaannya dengan berita, bukan karena mengindra atau mengalami sendiri
• Kita meyakini bumi itu bulat, manusia pernah ke bulan dan lain-lain padahal kita tidak pernah ke luar angkasa dan tidak pernah ikut pesawat yang mendarat ke bulan. Tapi kita percaya berita para saintis di seluruh dunia yang bersepakat bahwa fakta-fakta itu memang benar dan peristiwa tersebut pernah terjadi
***
Demikian pula membuktikan adanya Allah.
Tidak pakai indra memang, karena ujian dari Allah tegas menyebut iman itu bil gaib, bukan bil musyāhadah. Artinya Allah tidak akan pernah bisa diindra di dunia.
Tetapi Allah menyebut banyak sekali tanda-tanda bahwa Dia itu haqq. Artinya, pembuktian keberadaan Allah, bukan pakai pendekatan empirisme tetapi pakai nalar rasional dan berita yang benar (khabar ṣādiq).
***
Contoh nalar rasional membuktikan adanya Allah:
Lihat sebuah jurnal tercetak yang mengandung banyak paper/artikel ilmiah bermutu tinggi di dalamnya. Jurnal tersebut pasti terdiri dari lembaran-lembaran kertas.
Dari mana asalnya kertas? Apakah “cling abrakadabra” tiba-tiba ada? Tidak. Kertas dibuat dari kayu. Untuk membuat kertas dari kayu prosesnya rumit. Melibatkan desain kompleks, campuran kimiawi tertentu, mesin tertentu, suhu tertentu dan lain-lain.
Lalu lihat, lembaran kertas itu bermacam-macam. Ada yang tipis ada yang tebal. Ada yang teksturnya dibuat halus glossy, ada yang agak kasar.
Apakah kertas bermacam-macam itu “cling abrakadabra” tiba-tiba ada? Tidak. Kertas tebal, tipis, glossy dan lain-lain itu dirancang dan didesain.
Lalu masing-masing kertas itu diwarnai macam-macam. Apakah warna-warna dalam kertas yang mewarnai gambar, garis, huruf itu “cling abrakadabra” tiba-tiba ada? Tidak. Yang jelas ada tangan yang mewarnainya. Pembuatan warna untuk kertas itu sendiri melalui proses tersendiri yang kompleks.
Kemudian isi kertas itu ada tulisan gabungan huruf-huruf yang membentuk kata-kata, lalu membentuk kalimat, lalu membentuk paragraf, lalu membentuk teks utuh.
Dari mana asalnya tulisan itu? Apakah “cling abrakadabra” tiba-tiba ada? Tidak. Teks paper diketik pakai komputer atau alat semisal. Komputer itu sendiri adalah alat kompleks yang harus didesain dan direncanakan susah payah. Lalu setelah diketik dalam bentuk file masih harus diprint. Alat printer pun alat kompleks yang harus didesain dan direncanakan. Bahkan ada komputer dan ada printer semata-mata tidak bisa menghasilkan paper berkualitas tinggi. Harus ada peneliti yang menyusun tulisan ilmiah memakai alat tersebut dengan metode penelitian yang jelas, nalar yang jelas dan kaidah penulisan bahasa yang jelas.
Jika seperti ini proses munculnya sebuah jurnal, apa Anda percaya jika ada yang bilang, “Ada pohon yang tiba-tiba jadi kertas setelah melalui proses evolusi, lalu melalui proses evolusi yang panjang menjadi kertas dengan berbagai ukuran, lalu terbentuklah warna-warna khusus, lalu terbentuk tulisan paper berkualitas tinggi, dan menjadi terjilid rapi dengan daftar isi dan urutan spesifik”
Akal gila mana yang bisa menerima banyolan seperti ini walaupun atas nama probabilitas dan posibilitas yang berlangsung selama milyaran tahun?
Demikianlah, kompleksitas manusia dan alam semesta yang demikian teratur, rapi dan canggih memustahilkan itu terjadi secara tiba-tiba tanpa ada Penciptanya.
***
Contoh membuktikan adanya Allah dengan berita yang benar:
Di atas sudah saya buktikan banyak sekali dalam hidup manusia mempercayai sesuatu hanya atas dasar berita orang lain.
Lalu apa bedanya dengan nabi Adam yang pernah bercakap-cakap dengan Allah, atau melihat malaikat, merasakan lezatnya surga dan lain-lain? Saat beliau menceritakan kepada anak-anaknya lalu anak-anaknya mengimaninya bil gaib, bukankah ini sama saja dengan kebanyakan kita hari ini yang menerima kebenaran sesuatu berdasarkan berita orang lain?
Jika kita telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah secara meyakinkan, bahwa beliau pasti jujur, bahwa beliau tidak pernah berdusta, lalu apa alasan untuk mendustakan berita dari beliau bahwa beliau pernah dinaikkan ke langit, bertemu dengan Allah dan bercakap-cakap langsung dengan Allah?
Tags:
Aqidah