Fikroh.com - Pengertian Bisyaroh secara bahasa berasal dari kata Bahasa Arab (بشارة) Bisyarah yang berarti kabar gembira, dalam arti sebuah kabar gembira yang Allah turunkan kepada umatnya, baik melalui al-Qur’an maupun ucapan rasul. Kata Bisyaroh dalam Al-Qur'an dalam berbagai bentuk serapanya terdapat 123 dan 48 tempat dalam bentuk fi'il (kata kerja) dan dalam bentuk isim sebanyak 75 tempat.
Contohnya sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ اَنْ يَّعْبُدُوْهَا وَاَنَابُوْٓا اِلَى اللّٰهِ لَهُمُ الْبُشْرٰىۚ فَبَشِّرْ عِبَادِۙ ١
Artinya: Orang-orang yang menjauhi tagut, (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali (bertobat) kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Maka, sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. (Az Zumar: 17)
Dan juga ayat berikut ini:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (Fushilat: 30)
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ ٦٣ لَهُمُ الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۗ لَا تَبْدِيْلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۗ ٦
Artinya: (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (ketetapan dan janji) Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung. (Yunus: 63-64)
Arti Bisyaroh Dalam Tradisi Masyarakat Indonesia
Dari pengertian asal Bisyaroh sebagaimana disebutkan diatas, kini kalimat Bisyaroh juga biasa digunakan dalam praktik mu'amalah, lebih tepatnya Bisyaroh adalah sebuah pemberian sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kebaikan seperti Bisyaroh untuk Kiyai atau Ustadz setelah mengisi kajian. Selain itu Istilah Bisyaroh, kini lebih sering kita dengar dalam dunia Pondok Pesantren, dibandingkan dengan yang ada di masyarakat. Makna Bisyaroh dalam pondok pesantren adalah pesangon atau insentif. Pergeseran makna Bisyaroh dari “kabar gembira” menjadi “pesangon atau insentif”, tidak terlepas dari tradisi dan kebudayaan yang ada di dalam Pondok Pesantren.
Pada saat ini, kususnya di kalangan pesantren, Istilah Bisyaroh (pesangon) digunakan untuk sebutan gaji atau bayaran terhadap para pengurus atau ustad atas dasar jasa layanan, atau jasa pengajaran di podok pesantren. Pemahaman ini, bisa anda jumpai dalam pondok pesantren salaf, seperti; Pondok pesantren Kempek, Babakan, Pesantren Lirboyo, Pesantren Al Anwar Sarang, dan sebagainya. Secara keumuman dalam pesantren, jumlah Bisyaroh itu tidak besar, tidak seperti gaji atau honor yang biasa diterima oleh para pekerja pada umumnya.
Pengertian Bisyaroh Menurut Hadits
Kajian tentang bisyaroh telah diterangkan dalam beberapa nash-nash yang shahih, salah satunya adalah riwayat yang disampaikan oleh Abu Dzar bahwasanya Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan baik, lantas dia mendapatkan cinta dan sanjungan dari manusia? beliau bersabda, "Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin." (HR Muslim)
Dalam hadis tersebut, Rasulullah memberitakan bahwa pengaruh amal baik yang disegerakan di dunia ini merupakan kabar gembira. Allah telah berjanji kepada para wali-wali-Nya akan memberikan kabar gembira tersebut.
Kata al-bisyaroh disebutkan dalam hadits tersebut yang berarti kabar atau perkara membahagiakan. Ini karena seorang hamba mengetahui kebaikan akhir dari perkara tersebut. Ia mengetahui bahwa dirinya termasuk orang-orang yang berbahagia dan amalnya diterima.
Sementara kabar gembira di akhirat adalah ridha dan pahala dari Allah serta selamat dari murka dan siksa-Nya. Ia mendapatkan pertolongan ketika mati di alam kubur dan ketika dibangkitkan kembali.
Riwayat lain mengatakan bahwa kata busyra atau bisyaroh artinya kabar awal yang benar dan menggembirakan. Allah SWT berfirman, "Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat." (Yunus: 64).
Sementara dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit dan Abud-Darda', dari Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa arti bisyaroh adalah mimpi baik yang dialami orang Muslim atau yang diperlihatkan kepadanya.
Ibnu Abbas berkata, "Berita gembira di dunia ialah pada saat mati, saat para malaikat mendatangi mereka sambil membawa rahmat dan berita gembira dari Allah. Sedangkan di akhirat ialah saat keluarnya jiwa orang Mukmin, saat naik kepada Allah."
Kesimpulan Sementara Tentang Hukum Bisyaroh Ditilik dari Aspek Penerima
Secara Fiqh
Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengambil bayaran atas mengajar agama atau Al-Quran, ada yang melarang, ada yang membolehkan. Saya cenderung memilih pendapat kedua yaitu boleh, artinya uangnya menjadi halal.
Upah atas mengajarkan ilmu, maka hukumnya berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika seorang guru mengajar di suatu sekolahan, maka terjadi kesepakatan antara pihak sekolah dan guru pengajar. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban, guru mempunyai kewajiban mengajar sesuai kurikulum yang ditentukan dan ia mempunyai hak untuk mendapatkan gaji seperti yang sudah diberi tahu, demikian juga dengan pihak sekolah. Jika guru tidak ridha dengan upah yang diberikan ia berhak keluar dari sekolah tersebut.
Sedangkan bisyarah/amplop yang diberikan kepada narasumber dalam suatu acara, pemaknaannya lebih dekat dengan hadiah, adat dan kebiasannya setelah acara panitia memberi bisyarah yang jumlahnya tidak disepakati di awal, bisa jadi berupa uang dengan nominal yang berbeda-beda antara narasumber satu dengan lain antara satu tempat dengan tempat lain, atau berupa barang, sembako, kue, sayur-sayuran, dst. Namanya juga hadiah, jadi terserah si pemberi mau memberi apa, bahkan jika dari awal kita sepakat bahwa dia adalah hadiah maka sifatnya tidak wajib, tidak memberi aslinya ga gpp [meski mungkin dalam hati ngomel-ngomel: ga tau diri banget sih] hahaha.
Maka dari sini tidak ada pertentangan antara ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw bahkan nabi-nabi lainnya tidak pernah meminta upah dan bayaran sedikitpun atas dakwah yang beliau lakukan. Tapi dalam sirah nabawiyah akan didapati bahwa Nabi saw menerima hadiah dan tidak menolaknya. Ini manhaj nabawi dalam berdakwah. Apakah secara fiqih hukumnya khusus hanya bagi para anbiya, wallahu A`lam, saya belum menemukan referensinya.
Secara Tasawuf
“Urip iku piye leh mu noto roso”
Demikian sebaris kalimat yang sering sekali didawuhkan kyai kami, Kyai Nur Ahmad.
Hidup itu bagaimana kamu menata hatimu, yaitu niat dan tujuan dalam setiap amalan yang kamu kerjakan.
Beliau mencontohkan dengan bekerja, silahkan kamu bekerja mencari harta duniawi, kamu tidak harus beruzlah dan zuhud untuk menuju Allah, bahkan bekerja itu sendiri bisa jadi ibadah. Tapi, niatkan dalam bekerjamu bukan sekedar mendapat harta dunia, niatkan bekerja untuk menggugurkan kewajiban menafkahi keluarga [bagi seorang suami], niatkan bekerja untuk menjaga harga diri dari meminta-minta dan berharap belas kasian orang lain, niatkan bekerja agar membantumu dalam melakukan ibadah lain, niatkan bekerja untuk membantu dan membela agama Allah dengan harta yang kamu dapatkan itu.
Maka dari sini, bisa diambil pelajaran.
Silahkan mengambil bayaran jika kamu mengajar, tapi niatkan mengajarmu bukan hanya sebatas mendapat gaji duniawi, niatkan mengajar - dengan tetap mendapat bayaran – agar bisa menggabungkan 2 ibadah sekaligus yaitu mengajarkan ilmu dan tetap bisa menggugurkan kewajiban menafkahi keluarga dengan upah yang didapatkan [uangnya kan halal], meski mendapat bisyarah kamu tidak membeda-bedakan keseriusanmu dalam memberikan ilmu di tempat yang biasa mendapat bisyarah sedikit dengan tempat yang mendapat nominal yang lebih banyak, dst.
Nah, dalam konteks ini jugalah berlaku kalam Habib Abdullah Al Haddad dalam Syarh Al Hikam:
“Termasuk dosa lahir batin terbesar adalah di saat kamu mengharapkan dunia dari teman teman (murid) kamu, sedangkan mereka mengharapkan akhirat darimu. "Urip iku piye leh mu noto roso”
Demikian penjelasan tentang pengertian Bisyaroh menurut kaca mata agama dan tasawuf. Semoga artikel tentang Bisyaroh ini bermanfaat untuk para pembaca semua.
Tags:
Ulasan