K.H. Abdul Wahab Hasbullah merupakan salah satu ulama terkemuka di Indonesia yang berperan signifikan dalam gerakan antikolonial dan pembentukan Republik Indonesia pada dekade 1940-an dan 1950-an. Ia lahir di Tambakberas, Jombang, pada tahun 1888 dan menghabiskan masa kecil serta remaja di lingkungan pesantren. Pada usia 13 tahun, Wahab mulai belajar di pesantren keluarganya, mempelajari Al-Quran, kitab-kitab kuning, teologi Islam, fiqih, serta ilmu-ilmu alat yang menjadi dasar pemahaman keilmuan para ulama tradisi.
Sebagai seorang santri kelana, Wahab tidak hanya belajar di satu pesantren. Pesantren pertama yang dikunjunginya adalah Pesantren Langitan di Tuban, di mana ia fokus pada fikih. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren lainnya, termasuk Mojosari, Cempaka, Tawangsari, dan Kademangan, mendalami berbagai ilmu keagamaan. Pada tahun 1910, atas saran K.H. Hasyim Asy’ari, ia berangkat ke Makkah untuk melanjutkan studi. Di sana, Wahab bertemu banyak syekh dan menjadi bagian dari komunitas Jawi, yang menghubungkan Islam di Nusantara dengan dunia Islam lebih luas.
Setelah kembali ke Indonesia pada 1914, Wahab terlibat aktif dalam pergerakan kebangsaan. Ia mendirikan Sarekat Islam cabang Makkah bersama beberapa tokoh lainnya. Pada 1916, Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan, yang berkembang menjadi sekolah-sekolah modern di berbagai kota. Ia juga membentuk kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar dan koperasi dagang Nahdlatul Tujjar. Ketiga organisasi ini menjadi wadah penting bagi aktivisme para santri dan pertukaran pemikiran di antara ulama muda.
Di tengah gesekan antara kalangan pesantren tradisional dan modernis, Wahab menggagas pembentukan Nahdlatul Ulama (NU) pada 26 Desember 1926. Organisasi ini berfungsi untuk melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah ancaman modernisme. NU berkembang pesat, dengan cabang-cabang didirikan di berbagai daerah, dan berperan aktif dalam perkembangan sosial, pendidikan, serta politik di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, NU mengalami masa sulit, tetapi Kiai Wahab berperan dalam pembebasan ulama yang ditangkap. Ketika Jepang membentuk Masyumi, K.H. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai ketua umum. Wahab dan tokoh NU lainnya terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, NU bergabung dalam Masyumi dan berperan penting dalam menjaga stabilitas negara. Kiai Wahab berusaha memastikan bahwa NU tetap terlibat dalam politik, dan saat NU memutuskan untuk berdiri sendiri sebagai partai politik, ia menjadi pendorong utama.
Pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjalani pendidikan di pesantren sejak kecil. Ayahnya, Kiai Hasbullah, memberikan pendidikan agama secara intensif untuk memastikan pemahaman yang mendalam. Setelah merasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama, ayahnya mengirimnya ke Pesantren Langitan di Tuban, yang dipimpin oleh Kiai Ahmad Sholeh.
Pada tahun 1901, di usia 13 tahun, Kiai Wahab memulai perjalanan pendidikannya di berbagai pesantren, tidak hanya di satu tempat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan berbagai keahlian dan perspektif dalam ilmu Islam, seperti Al-Qur'an, Tafsir, Hadist, Bahasa Arab, dan Tasawuf, yang semuanya penting untuk mempersiapkan dirinya terjun ke masyarakat.
Proses pendidikan Kiai Wahab berlangsung selama sekitar sembilan tahun di tujuh pesantren, antara lain:
1. Pesantren Langitan, Tuban Di bawah asuhan Kiai Ahmad Sholeh.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk: Dipimpin oleh Kiai Sholeh dan menantunya, Kiai Zainuddin.
3. Pesantren Cempaka: Mempelajari berbagai disiplin ilmu.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang: Di bawah asuhan Kiai Mas Ali.
5. Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura: Dipimpin oleh Syekh Kholil.
6. Pesantren Branggahan, Kediri: Di bawah asuhan Kiai Faqihuddin.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang: Di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari, di mana Kiai Wahab menghabiskan waktu sekitar empat tahun.
Pengalaman belajar di berbagai pesantren ini memberikan Kiai Wahab dasar yang kuat dalam ilmu keagamaan dan membentuk pandangan serta kepribadiannya sebagai seorang ulama dan pemimpin masyarakat.
Kiprah KH Abdul Wahab Hasbullah
Pada masa kepemimpinan Nahdlatul Wathan, K.H. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan organisasi pemuda pada tahun 1924, yang meliputi Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air), dan Da’watus Syubban (Panggilan Pemuda). Setelah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), ketiga organisasi ini berganti nama menjadi Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda).
Nahdlatul Wathan berperan penting dalam memperkuat ketahanan umat Islam terhadap berbagai hujatan yang dilancarkan oleh kaum reformis dan pihak-pihak lain yang berusaha memecah belah umat Islam, khususnya kalangan tradisionalis.
Pada tahun 1918, Kiai Wahab bersama Kiai Ahmad Dahlan dan sejumlah tokoh lainnya mendirikan Tashwirul Afkar, sebuah forum diskusi untuk ulama pesantren. Melalui kesepakatan dengan tokoh Budi Utomo dan Perhimpunan Soeryo Soemirat, Tashwirul Afkar resmi berbadan hukum dan berganti nama menjadi "Soeryo Soemirat Afdeling Taswirul Afkar". Tujuan dari pendirian forum ini adalah untuk memberikan ruang bagi kalangan tradisionalis menyampaikan pandangannya dan meluruskan argumen dari kalangan modernis.
Selain itu, atas persetujuan Kiai Hasyim Asy’ari, pada tahun yang sama juga didirikan Nahdlatut Tujjar, yang berarti Kebangkitan Pedagang. Organisasi ini bertujuan untuk memperbaiki dan membangun sektor ekonomi di kalangan tradisionalis, khususnya di wilayah Surabaya dan Jombang. Para pendiri Nahdlatut Tujjar, termasuk Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Bisri Syamsuri, dan sejumlah pedagang, bersepakat untuk membentuk koperasi dan badan usaha yang dapat mendukung ekonomi umat.
Wafat
Wahab wafat pada 29 Desember 1971 dan dimakamkan di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2014, mengakui perannya yang tak ternilai dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Tags:
Biografi Muslim