Fikroh.com - Allah itu maha indah dan menyukai keindahan. Diantara keindahan yang disukai ialah memberi nama yang baik bagi anak dan tidak memberinya nama yang mengandung makna buruk. Dengan tanpa mempersulit diri dan berlebihan, karena Alloh menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Alloh berfirman:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu." (Al-Baqarah: 185).
Untuk itu, Islam selalu menginginkan kemudahan, bahkan dalam persoalan pemberian nama. Islam tidak menginginkan kesulitan dalam hal memberi nama. Hal ini dapat dilihat dengan jelas melalui larangan Nabi memakai nama harb (perang). Beliau bersabda, “Nama yang paling disenangi oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman; nama yang paling baik adalah Harits dan Hammam; sedangkan nama yang paling buruk adalah Harb dan Murrah.”“
Ibnu Umar menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, "Sungguh, nama seseorang di antara kalian yang paling disenangi oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.
Nabi memberi nama putra Abu Thalhah dengan Abdullah dan putra AI-Abbas dengan nama Abdullah pula pada hari kelahirannya. Putra beliau sendiri, beliau beri nama lbrahim seperti nama bapak para nabi, yaitu nabi lbrahim. Adapun putra Abu Usaid beliau beri nama Al-Mundzir, dan masih banyak lagi nama-nama lain yang diberikan oleh beliau.
Ada sebagian orang yang menamai anaknya dengan nama yang buruk dengan tujuan untuk menyelamatkan anak dari kedengkian orang lain atau agar anak berumur panjang dan tidak mati dalam usia dini. Perbuatan seperti ini menunjukkan kebodohan para pelakunya. Selain telah memberi nama yang bermakna buruk, perbuatan seperti ini juga merupakan bukti rusaknya akidah seseorang. Di samping itu, nama biasanya mempengaruhi diri orang yang bersangkutan. jika seorang anak diberi nama duka, biasanya kedukaan selalu menyertainya dan jika diberi nama cela. Anda akan melihat dalam dirinya terdapat sebagian sifat yang tercela.
Larangan Memberi Nama Buruk atau Nama Terlarang
- Samurah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, "jangan sekali-kali engkau menamakan anakmu Yassar, Rabah, Najih, atau Aflah karena engkau akan mengatakan, 'Apakah ia ada di sini?' Bila tidak ada, akan dikatakan, 'Tidak'.” Menurut riwayat lain dari Umar, Nabi bersabda, "Sungguh aku melarang pemberian nama Rafi', Barakah, dan Yassar.”
- Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, ”jika aku masih hidup, aku akan melarang pemberian nama Barakah, Yassar, dan Nafi'. Jabir mengatakan, ”Saya tidak ingat apakah beliau menyebut nama Rafi' atau tidak.” Karena jika ditanyakan, "Apakah di sini ada Barakah.” Jika dijawab, "Tidak ada.” (maka pengertian menjadi buruk). Demikian pula jika ditanyakan, ”Apakah di sini ada Yassar.” Dan dijawab, "Tidak ada.” Jabir mengatakan bahwa tidak lama kemudian Rasulullah wafat dan masih belum sempat melaksanakan larangannya itu. Ketika Umar hendak melarangnya, ia mengurungkan niatnya.
- Al-Khathabi berkata, ”Nabi telah menjelaskan makna yang dimaksud dan penyebab yang membuat pemberian nama seperti ini tidak disukai. Hal itu karena pada mulanya mereka tidak memberi nama-nama seperti itu, melainkan karena kebaikan makna yang dikandungnya, baik untuk memohon berkah maupun mengharapkan keoptimistisan dari kebaikan makna yang dikandungnya.
- Rasulullah melarang mereka menggunakan nama-nama tersebut agar tidak menjadi bumerang bagi mereka yang berakibat kebalikan dari makna yang dimaksud oleh nama-nama tersebut. Hal itu karena bila mereka menanyakan, ”Apakah di sana ada Yasar atau Rabah?” Bila jawabannya adalah tidak ada, mereka menjadi pesimis dan merasa sial dengannya, lalu memendam perasaan putus asa terhadap kemudahan dan keberhasilan (yang merupakan arti dari nama Yasar dan Najih). Oleh karena itu, Nabi melarang mereka menggunakannya karena akan berakibat menanamkan buruk sangka kepada Allah dan mewariskan putus asa dalam diri mereka dari kebaikan-Nya.
- Nabi telah mengubah nama-nama yang tadinya bermakna buruk dan nama-nama yang tidak buruk tetapi tidak boleh digunakan menjadi nama. Nabi mengubah nama 'Ashiyah menjadi Jamilah, mengubah Ashram menjadi Zar'ah, mengubah nama Hazan menjadi Sahl. Demikian pula mengubah nama Barrah menjadi Zainab dan bersabda: "janganlah kalian menyucikan diri sendiri. Allah lebih tahu orang-orang yang berbakti di antara kalian.”
Beliau juga mengubah julukan Abul Hakam menjadi Abu Syuraih, lalu bersabda kepadanya, ”Hanya Allah saja yang pantas disebut Al-Hakam.” Syuraih adalah nama anak lelaki itu yang paling besar. Beliau mengubah nama Syihab menjadi Hisyam.
Para orang tua dan pendidik hendaknya tahu bahwa ada keterkaitan antara makna nama dan orang yang memiliki nama itu. Nama yang indah akan membawa harapan yang indah pula, dan demikian pula sebaliknya. Seorang penyair berkata:
Mata itu jarang sekali bisa melihat pribadi orang yang memiliki julukan tertentu
Hanya saja Anda akan mengetahuinya bila Anda memikirkan makna julukannya.
Imam Malik telah menyebutkan dalam kitab Muwatha’: II/973 bahwa Rasulullah menanyakan tentang kambing yang banyak susunya, ”Siapa yang akan memerah susunya.?” Maka seseorang berdiri sembari berkata, ”Saya." Beliau bertanya, ”Siapa namamu?” Orang itu menjawab, ”Murrah (sangat kikir).” Beliau bersabda kepadanya, ”Duduklah.” Beliau kemudian bersabda, ”Siapa yang akan memerah susunya.?” Maka seorang yang lain berdiri lalu beliau bertanya kepadanya, ”Siapa namamu?” Orang itu menjawab, ”Harb (perang).” Beliau bersabda kepadanya, ”Duduklah. ”Beliau kemudian bertanya lagi, ”Siapa yang akan memerah susunya?” Maka seorang yang lain berdiri dan berkata, ”Saya." Beliau bertanya, ”Siapa namamu?” Orang itu menjawab, ”Ya’isy.” Maka beliau bersabda kepadanya, "Perahlah."
Ternyata, beliau menyatakan enggan secara langsung hanya karena orang yang memiliki nama yang tidak disukai untuk memerah kambing.
Nabi bersikap sangat tidak senang terhadap nama yang buruk, baik nama orang, tempat, kabilah, maupun gunung. Bahkan, beliau pernah lewat di jalan yang biasa beliau lewati di antara dua gunung. Maka beliau menanyakan nama gunung itu. Ada yang menjawab, "Fadhih (aib) dan Mukhz (hina).” Mendengar nama itu, beliau berbalik dan tidak jadi melewati jalan antara dua gunung itu. Nabi sangat perhatian soal nama. Orang yang mempelajari sunnah akan mendapatkan makna-makna nama yang memiliki kaitan dengan yang dinamai. Bahkan, seolah-olah maknanya diambil dari nama itu sendiri. Nama itu seakan-akan kata turunan dari makna-makna nama. Perhatikanlah sabda beliau berikut ini:
”Nama Aslam diselamatkan oleh Allah; Ghifar diampuni Allah dengan nama itu; dan Ushayyah maka ia akan bermaksiat kepada Allah."
Perhatikan juga sabda beliau ketika Suhail bin Amr datang pada hari perjanjian, ”Persoalanmu mudah.” Ketika beliau menanyakan nama Buraidah, ia menjawab, ”Buraidah (dingin).” Maka beliau bersabda, "Wahai Abu Bakar, persoalannya dingin.” Beliau lalu bersabda, ”Dari mana engkau.?” Ia menjawab, ”Dari bani Aslam.” Maka beliau bersabda, ”Wahai Abu Bakar, kita selamat.” Kemudian beliau bersabda, ”Dari siapa.?” Ia menjawab, ”Dari Sahm (anak panah).” Beliau bersabda, ”Anak panahmu telah keluar.” Hadits tersebut disebutkan oleh Abu Amrah dalam Istidkar.
Bahkan, beliau pernah mengungkapkan itu dalam mimpi. Ia berkata, "Aku bermimpi seolah-olah aku berada di rumah Uqbah bin Rafi' maka ia menjamu kami dengan kurma dari kurma lbnu Thalib. Maka aku menakwilkan, kebaikan dan ketinggian itu milik kita di dunia dan bahwasanya agama kita ini sudah baik.”
Bila Anda ingin mengetahui pengaruh nama terhadap pemilik nama tersebut, perhatikanlah hadits yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, dari kakeknya yang berkata, "Aku mendatangi Nabi lalu beliau bersabda, ”Siapa namamu?” aku menjawab, ”Hazn (sedih).” Beliau bersabda, ”Engkau Sahl (mudah).” Orang itu menjawab, "Aku tidak akan mengganti nama yang diberikan oleh ayahku.” Ibnul Musayyab berkata, ”Ternyata orang itu selalu tampak bersedih setelah itu.”
Perhatikanlah apa yang diriwayatkan oleh Malik dalam AIMuwatha’: ll/973 dari Yahya bin Sa’id bahwa Umar bin Al-Khaththab berkata kepada seseorang:
"Siapa namamu?”
"Jamrah (kerikil).”
”Anak siapa kamu.”
”lbnu Syihab (anak bintang).”
"Dari siapa.”
"Dari Al-Hurqah (kebakaran).”
Di mana tempat tinggalmu?”
”Di Harratin Nar (panasnya api).”
”Di manakah itu?”
”Di Dzatu Lazha (memiliki nyala api).”
Terakhir, Umar berkata, ”Beri tahulah keluargamu bahwa mereka telah terbakar.” Sebagaimana kata Umar, ini adalah riwayat Malik.
Di antara bencana yang diakibatkan oleh kata-kata adalah ucapan seorangtua miskin yang dijenguk oleh Nabi. Beliau melihat orang tersebut sedang demam, lalu bersabda, 'Tidak apa-apa, baik-baik saja, insya Allah.” Orang itu berkata, ”Akan tetapi, demam itu bisa membuat orang tua panas memuncak dan mengantarkannya ke kubur.” Maka Rasulullah bersabda, ”Ya, kalau begitu.”
Hal seperti ini telah menjadi pelajaran bagi kita sebagai umat Islam maupun selain kita. Dan yang kita ketahui hanyalah bagai setetes air di lautan.
Di buku jami' Ibni Wahab disebutkan bahwa Rasulullah menerima seorang anak yang didatangkan kepada beliau. Maka beliau bersabda, ”Apa nama yang kalian berikan kepadanya.?” Mereka menjawab, ”Saib (yang ditinggalkan).” Beliau bersabda, ”janganlah kalian beri nama Saib, tetapi Abdullah.” Perawi berkata, ”Maka mereka mendapatkan kerugian karena nama anak itu. Sebelum anak itu meninggal, ia telah kehilangan akal sehatnya.”
Jadi, menjaga ucapan yang baik dan pemilihan nama termasuk taufik Allah untuk hamba-Nya. Nabi telah memerintahkan agar orang mengangankan yang baik. Beliau bersabda, ”Sungguh salah seorang di antara kalian tidak tahu apa yang ditetapkan baginya dari angan-angannya.” Artinya, tidak tahu apa takdir baginya dari angan-angan itu dan angan-angannya menjadi sebab terjadinya apa yang diangankan atau sebagian darinya. Anda mungkin pernah mendengar atau melihat sendiri banyak berita tentang orang yang berangan-angan lalu menjadi kenyataan. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengungkapkan pesan ini dalam bait syair:
Berhati-hatilah bila berbicara karena engkau bisa tertimpa musibah Sesungguhnya musibah itu bisa terjadi karena ucapan
Ketika AI-Husein dan rekan-rekannya singgah di Karbala, AlHusein bertanya tentang namanya. Ada yang menjawab, ”Karbala.” Maka ia berkata, ”Kesedihan dan musibah.”
Ketika Halimah As-Sa'diyah berhenti di hadapan Abdul Muthallib untuk menanyakan persusuan Rasulullah, Abdul Muthallib berkata kepadanya, ”Siapa Anda?” Ia menjawab, ”Seorang wanita dari Bani Sa'ad.” Abdul Muthallib berkata, "Siapakah namamu?” ia menjawab, ”Halimah." Abdul Muthaliib berkata, ”Wah, hebat. Bahagia dan lembut. Dua sifat ini merupakan kekayaan sepanjang masa.”
Semoga Alloh karuniakan kepada kita sifat dan akhlak yang baik sebagaimana nama yang tersemat dalam diri kita. Serta dijauhkan dari musibah dan keburukan akhlak.
Sumber: Buku Islamic Parenting, karya Syaikh Jamal Abdurrahman